Kategori: Pendidikan

10 Prospek Menjanjikan untuk Lulusan Fisika

10 Prospek Menjanjikan untuk Lulusan Fisika – Lulusan fisika memiliki peluang karir yang luas dan beragam.

Dengan keterampilan analitis dan pemahaman mendalam toto online tentang prinsip-prinsip alam, mereka dapat mengejar berbagai profesi yang menjanjikan. Berikut adalah sepuluh prospek karir yang menjanjikan bagi lulusan fisika.

Baca juga : 10 Tempat Hits Menikmati Keindahan Malam Jogja yang Wajib Dikunjungi

1. Peneliti di Lembaga Riset

Lulusan fisika dapat bekerja sebagai peneliti di berbagai lembaga riset, baik pemerintah maupun swasta. Mereka dapat terlibat dalam penelitian dasar maupun terapan yang berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Dosen atau Profesor

Karir di bidang akademik adalah pilihan populer bagi lulusan fisika. Mereka dapat mengajar di universitas atau perguruan slot deposit 10 ribu tinggi, membimbing mahasiswa, dan melakukan penelitian ilmiah.

3. Fisikawan Medis

Fisikawan medis bekerja di rumah sakit dan pusat kesehatan, menggunakan prinsip fisika untuk mengembangkan dan menerapkan teknologi medis, seperti radioterapi dan pencitraan medis.

4. Insinyur

Lulusan fisika sering kali memiliki keterampilan yang dapat diterapkan dalam bidang teknik. Mereka rajamahjong dapat bekerja sebagai insinyur di berbagai industri, termasuk elektronik, mekanik, dan sipil.

5. Data Scientist

Dengan kemampuan analisis data yang kuat, lulusan fisika dapat berkarir sebagai data scientist. Mereka menggunakan statistik dan algoritma untuk menganalisis data besar dan membantu perusahaan membuat keputusan berbasis data.

6. Konsultan Teknologi

Sebagai konsultan teknologi, lulusan fisika dapat membantu perusahaan mengembangkan dan mengimplementasikan solusi teknologi yang inovatif. Mereka dapat bekerja di berbagai sektor, termasuk energi, manufaktur, dan teknologi informasi.

7. Pengembang Perangkat Lunak

Lulusan fisika dengan keterampilan pemrograman dapat bekerja sebagai pengembang perangkat lunak. Mereka dapat terlibat dalam pengembangan aplikasi, sistem operasi, dan perangkat lunak lainnya.

8. Analis Keuangan

Kemampuan analitis lulusan fisika membuat mereka cocok untuk bekerja sebagai analis keuangan. Mereka dapat menganalisis data keuangan, memprediksi tren pasar, dan memberikan rekomendasi investasi.

9. Ahli Meteorologi

Ahli meteorologi menggunakan prinsip fisika untuk mempelajari atmosfer dan memprediksi cuaca. Mereka dapat bekerja di lembaga pemerintah, stasiun televisi, atau perusahaan swasta.

10. Penulis Sains

Lulusan fisika dengan bakat menulis dapat berkarir sebagai penulis sains. Mereka dapat menulis artikel, buku, atau konten online yang menjelaskan konsep-konsep fisika kepada khalayak umum.

Kesimpulan

Lulusan fisika memiliki banyak peluang karir yang menjanjikan. Dengan keterampilan analitis dan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip alam, mereka dapat mengejar berbagai profesi yang berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pilihan karir yang beragam ini menunjukkan bahwa lulusan fisika memiliki masa depan yang cerah dan penuh potensi.

Faktor Penghambat Orang Indonesia Jadi Peneliti Dunia

Faktor Penghambat Orang Indonesia Jadi Peneliti Dunia – Status World Class University (WCU) yang ditargetkan pemerintah akun demo gates of olympus bakal tercapai, salah satunya jikalau semakin banyak world-class researcher atau peneliti kelas dunia yang berasal dari Indonesia.

Faktanya, per Oktober 2023, hanya tersedia 92 peneliti Indonesia yang masuk dalam daftar Top 2 Percent World Ranking Scientist dari keseluruhan 210 ribu peneliti top, atau kurang lebih 0,04%.

Data lain menunjukkan bahwa tidak tersedia satupun peneliti Indonesia yang masuk dalam 7000-an highly cited researcher pada th. 2023. Indonesia termasuk hanya berada di peringkat 55 dunia berdasarkan jumlah publikasi ilmiah internasional bereputasi, kalah dari Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Ini mengindikasikan bahwa kendati Indonesia mempunyai jumlah penduduk terbanyak no empat di dunia, kita masih “anak bawang” dalam kancah riset internasional. Sudah jadi anak bawang, dunia riset dan akademis kita termasuk konsisten diguncang beragam skandal.

Fenomena sulitnya mencetak peneliti kelas dunia dari Indonesia ini disebabkan oleh banyak hal, pada lain minimnya perlindungan finansial, fasilitas, dan rumitnya birokrasi.

1. Kendala finansial

UNESCO mengatakan bahwa biasanya anggaran penelitian negara-negara berpenghasilan menengah ke atas adalah 1-2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara di Indonesia, hanya 0,02% dari PDB yang dialokasikan untuk penelitian.

Meski berlangsung peningkatan anggaran penelitian dalam 1-2 th. terakhir, jumlah ini masih kudu konsisten ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas riset dan pemerataan luaran penelitian.

2. Minim fasilitas

Fasilitas alat dan laboratorium kita masih terbatas dan menyulitkan peneliti untuk laksanakan riset berkualitas. Kolega aku di UGM dan ITB, contohnya, mengatakan bahwa mereka terpaksa laksanakan analisa Emerging pollutants (EPs) dan Contaminants of Emerging Concern (CECs) sebagai parameter-parameter kimia dan farmasi, ke luar negeri, gara-gara minimnya lab di Indonesia yang bisa menganalisa hal tersebut.

Terlebih lagi, peneliti tidak diperbolehkan belanja alat laboratorium (non-habis pakai) jikalau mendapat dana hibah penelitian RIIM dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ini menyulitkan peneliti di universitas untuk membawa peralatan laboratorium yang berkualitas. Sementara dana dari universitas terbatas dan ‘menunggu giliran’, semisal untuk pembangunan slot depo 5k gedung atau penambahan ruang kelas lebih-lebih dahulu.

Selain itu, berdasarkan pengalaman aku di kampus, sistem pembelian peralatan laboratorium yang mahal dan memiliki kwalitas kebanyakan lumayan rumit dan memakan selagi lama, gara-gara kudu melalui rekanan yang terdaftar, sistem konsultasi, atau lelang untuk menghindari penyalahgunaan anggaran.

Baca Juga: Cara Mencegah Mahasiswa Memakai Joki Tugas Kuliah

3. Belitan birokrasi

Kendala lainnya mengenai sistem birokrasi riset yang rumit dan lamanya pencairan dana penelitian. Berdasarkan pengalaman penulis, dana penelitian dari pusat seringkali molor dan baru turun kurang lebih bulan Juli-Agustus. Sementara, publikasi hasil penelitian sudah kudu selesai atau diserahkan ke jurnal di bulan November atau sebelum akan tutup th. anggaran.

Padahal, menurut pengalaman penulis, riset mengenai kesehatan misalnya, butuh selagi pengambilan information minimal enam bulan. Ini belum termasuk selagi analis information dan penulisan jurnal, untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan layak terbit di jurnal top internasional.

  • Investasi jangka panjang sebagai solusi
  • Situasi di atas butuh beragam solusi.

Pertama, pemerintah kudu mendorong peneliti Indonesia untuk berkiprah di kampus-kampus top luar negeri. Jika kita memandang daftar profesor di kampus-kampus top dunia, maka kita bakal memandang banyaknya orang Cina dan India berada di sana. Bahkan, Cina dan India mendominasi peneliti asing di Amerika Serikat (AS), selagi peneliti dari Indonesia tidak masuk daftar 25 besar.

Kiprah di luar negeri bakal menghasilkan situs slot resmi kolaborasi yang lebih kuat pada universitas top tersebut dengan institusi negara asal. Cina laksanakan “strategi” ini dan secara tidak langsung meningkatkan kualitas riset mereka.

Kedua, perlunya pembiayaan penelitian yang berupa multiyears. Saat ini, nyaris seluruh pembiayaan penelitian yang berasal dari pemerintah hanya berlangsung satu tahun. Peneliti kudu mengajukan hibah penelitian baru pada th. berikutnya. Ini menyebabkan para peneliti tidak dapat laksanakan penelitian secara mendalam dan berkesinambungan, gara-gara adanya ketidakpastian yang tinggi untuk memperoleh dana di th. berikutnya.

Ketiga, universitas kudu mengimbuhkan lebih banyak kesempatan post-doc bagi para dosen. Saat ini, tanggung jawab di universitas menyulitkan dosen untuk meninggalkan pekerjaan mereka untuk selagi yang lumayan lama.

Misalnya, universitas susah untuk melewatkan dosennya laksanakan post-doc gara-gara kekurangan dosen untuk kesibukan pengajaran di kampus. Padahal, kesempatan post-doc di universitas luar negeri bakal mengakses jejaring kolaborasi baru dan meningkatkan kapabilitas dosen itu sendiri.

Keempat, peningkatan kualitas peneliti butuh kolaborasi yang kuat pada dunia industri atau pihak swasta dengan universitas. Salah satu tantangan dunia penelitian Indonesia adalah kurangnya diseminasi dan penerapan dari penelitian yang dikerjakan di universitas kepada masyarakat. Padahal, dunia industri dapat jadi pihak yang menerapkan hasil penelitian itu di masyarakat.

Industri dapat termasuk jadi sumber pendanaan bagi penelitian agar universitas tidak hanya mengandalkan pembiayaan riset dari pemerintah. Program Matching Fund-Kedaireka yang dibuat sejak 2021 sudah mewadahi gagasan ini. Tetapi perbaikan selalu kudu dikerjakan untuk memperkuat kolaborasi dunia industri dan perguruan tinggi.

Cara Mencegah Mahasiswa Memakai Joki Tugas Kuliah

Cara Mencegah Mahasiswa Memakai Joki Tugas Kuliah – Seberapa familier Anda dengan joki atau jasa penggarapan tugas kuliah di lingkungan pendidikan tinggi?

Menurut beberapa studi, banyak mahasiswa tidak sangat mengerti apa yang memang dimaksud dengan plagiarisme. Beberapa malah laksanakan praktik-praktik yang tidak cukup jujur dalam mengerjakan tugas. Di internet tersedia banyak sekali posting yang tawarkan jasa penulisan esai untuk berbagai topik, dan dengan harga yang masih masuk akal.

Tapi, kecuali mahasiswa mendapat penghargaan atau nilai untuk kerjaan yang bukan karya mereka, kualifikasi akademik seakan menjadi tidak bernilai. Ini termasuk bisa menggerus keyakinan kita pada mutu lulusan perguruan tinggi.

Suatu belajar lawas yang dulu dilaksanakan dosen usaha asal Inggris, Bob Perry, mempelajari seberapa gawat dan apa saja alasan yang mendorong praktik curang ini di pada 355 mahasiswa sarjana dan 122 mahasiswa pasca-sarjana di suatu kampus. Ia mendapatkan bahwa 14% mahasiswa sarjana dan 6% mahasiswa pasca-sarjana dalam belajar berikut mengaku dulu mencari jasa joki esai di internet. Sebanyak tujuh mahasiswa bahkan mengaku udah dulu belanja dan menyatukan esai berikut untuk tugas kuliah.

Saya curiga bahwa dosen di universitas tetap bisa mendeteksi esai pesanan layaknya ini. Program layaknya Turnitin hanya mencari kesamaan dengan sumber publikasi lain, supaya belum mampu “menangkap” postingan pesanan yang dihasilkan seseorang yang bekerja di balik layar.

Meski dosen bisa saja menuding seorang mahasiswa yang mereka rasa Mengenakan jasa joki, pada sebetulnya praktiknya tidak semudah itu.

Bisa jadi, dosen menyaksikan suatu karya miliki mutu yang jauh lebih baik dari kapasitas mahasiswa yang mengumpulkannya. Misalnya suatu karya mengandung jenis bhs yang ciamik dan jarang ditunjukkan mahasiswa penulisnya – selanjutnya sang dosen menuduh mereka udah laksanakan plagiasi atau Mengenakan joki. Namun, sementara mengemukakan ini ke mahasiswa, sehati-hati apa-pun dosen bertutur kata, omongan mereka bisa menjadi terdengar layaknya “kok Anda ternyata pintar”, atau “saya mengira Anda bodoh”.

Cara Mencegah Mahasiswa Memakai Joki Tugas Kuliah

Ini serupa sekali bukan hal yang mengidamkan saya katakan pada mahasiswa saya.

Lalu, kecuali kita miliki dugaan bahwa beberapa mahasiswa Mengenakan joki, namun kita tidak bisa membuktikannya, apa hal realistis yang bisa kita lakukan? Berikut tiga rekomendasi saya.

1. Langkah preventif

Pertama, manfaatkan metode-metode yang meyakinkan mahasiswa sangat menulis sendiri tugas mereka.

Tradisi klasik ujian lisan, di mana mahasiswa menyatakan pemahaman mereka mengenai materi, bisa menjadi menangkap basah mereka yang mengandalkan joki. Tapi, dosen butuh sementara yang lama untuk menyelenggarakannya, sesudah itu menilai satu persatu ujian lisan dari ratusan mahasiswa. Bagi dosen yang mengajar kelas yang besar, solusi ini tidak cukup praktis.

Sebagai alternatif, sebagaimana yang diusulkan Bob Perry, dosen bisa merancang tugas yang menihilkan peran joki. Saya mengayalkan beberapa contoh.

Misalnya, tugas berikut dapat melibatkan proyek praktik yang lebih banyak, di mana mahasiswa laksanakan serangkaian kerjaan yang relevan dengan mata kuliah. Dalam mata kuliah kewirausahaan, tugas bisa berwujud mendesain dan menggerakkan acara amal sebagai bagian dari modul bisnis.

Namun demikian, tidak semua materi cocok dibawakan atau diuji dengan cara layaknya ini mengingat keterbatasan waktu, kesempatan, atau sumber daya.

Baca Juga: Indonesia Ingin Jadi No. 1 di ASEAN dalam Sektor Pendidikan

2. Hindari esai tradisional

Kedua, berhentilah menambahkan penugasan individual yang berwujud tertulis. Ganti saja dengan metode penilaian yang tidak mudah diselesaikan oleh jasa joki.

Tugas kelompok, di mana mahasiswa bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan esai, laporan, atau karya unik lain termasuk bisa menjadi opsi.

Menghapus tuntutan untuk menghasilkan karya yang seragam, ataupun mengurangi rasa cemas mahasiswa karena mengerjakan karya berikut seorang diri, harapannya bisa sebabkan mereka berhenti mengayalkan jasa joki sebagai opsi.

Tujuan akademik mahasiswa termasuk miliki peran penting.

Riset saya bersama dengan beberapa kolega mendapatkan bahwa mahasiswa yang mengaku gemar belajar lebih puas dimasukkan ke grup dengan mahasiswa lain yang tidak mereka kenali. Sementara itu, mereka yang lebih mengidamkan mengejar nilai lebih menyukai berada dalam grup berisi orang yang mereka kenal.

Berbekal hal ini, kita bisa coba meyakinkan mahasiswa bahwa cara terbaik untuk belajar dan mendapat nilai tinggi adalah untuk bekerja serupa dalam tim dan menghindari joki.

Tetap saja, ujian tertulis mungkin memang alternatif terbaik untuk mencegah kecurangan – meski beberapa mahasiswa cenderung mendapat skor rendah sementara mengikuti ujian. Studi udah menyatakan bahwa performa mahasiswa dalam menggarap penugasan bisa jauh lebih baik daripada suatu gelaran ujian. Jadi, manfaatkan ujian ketimbang penugasan bisa menjadi merugikan beberapa mahasiswa.

3. Kolaborasi dosen dan mahasiswa

Ketiga, dan ini adalah opsi yang paling saya sukai, dosen bisa lebih turun tangan dalam garapan mahasiswa mereka.

Dosen bisa merancang asesmen yang mencerminkan kolaborasi penugasan pada guru dan murid. Contoh yang bagus adalah semacam disertasi akhir atau proyek riset yang dihasilkan mahasiswa di bawah pengawasan dan arahan pembimbing.

Jika dosen menghabiskan lebih banyak sementara untuk menunjang mahasiswa mengembangkan ide-ide, menyusun argumen, dan mengarahkan riset, maka dosen bisa lebih sangat percaya bahwa karya akhir berikut memang hasil kolaborasi pada mereka dan mahasiswa.

Tantangannya adalah mencari mata kuliah dan sementara yang pas untuk menambahkan penugasan semacam ini.

Solusi-solusi ini pasti tidak sempurna. Beberapa di antaranya lebih pas diterapkan pada konteks-konteks spesifik saja. Namun, patut diingat, lawan kita adalah joki. Jika universitas mengidamkan sangat percaya kredibilitas lulusan mereka, maka mereka perlu langsung laksanakan sesuatu.

Indonesia Ingin Jadi No. 1 di ASEAN dalam Sektor Pendidikan

Indonesia Ingin Jadi No. 1 di ASEAN dalam Sektor Pendidikan – Setelah untuk pertama kalinya mengalahkan Thailand dalam kuantitas publikasi akademis, Indonesia optimis segera mengejar Singapura dan Malaysia—yang lebih produktif—di 2019. Namun, di abad 21 dunia ilmu ilmu lebih perlu kolaborasi daripada kompetisi.

Untuk mengukur pencapaian akademis spaceman Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), termasuk beberapa universitas, umumnya mengandalkan kuantitas artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal yang masuk dalam indeks Scopus (salah satu basis knowledge akademis terbesar di dunia) dan peringkat kampus dunia.

Bulan lantas kementerian menginformasikan bahwa Indonesia udah melampaui Thailand dalam hal kuantitas publikasi yang ditulis akademisi Indonesia (9.349 artikel untuk Indonesia dan 8.204 untuk Thailand sampai 31 Juli 2017). Itu bermakna Indonesia ada di posisi ketiga di ASEAN, di bawah Malaysia dan Singapura.

Masih perlu diamati apakah Indonesia bisa selalu di posisi ketiga setelah 2017 berakhir. Namun Kemristekdikti optimis Indonesia tak lama lagi Indonesia bakal menyamai Singapura, yang ada di posisi kedua, dan di akhir 2019 bahkan bisa menyalip Malaysia dan menjadi nomor satu di ASEAN.

Data yang dikutip menteri adalah kabar baik yang perlu kita puji. Kita termasuk perlu berbangga. Namun, kita termasuk perlu secara kritis memeriksanya.

Jangan cuma lihat kuantitas publikasi

Kita perlu lihat slot olympus lebih dari sekadar kuantitas publikasi. Basis knowledge bibliometrik SCImago mencatat pada tahun 2016 Indonesia menghasilkan 11.470 publikasi, yang dikutip (sitasi) sebanyak 4.604 kali. Thailand menghasilkan 14.176 publikasi yang dikutip 11.331 kali.

Yang menarik dicermati, kuantitas sitasi Indonesia (4.604) bahkan lebih kecil dari Vietnam yang menghasilkan 4.970 sitasi dari “hanya” 5.563 publikasi tahun lalu.

Ada beberapa alasan mengapa satu karya ilmiah dikutip atau tidak. Pada dasarnya sitasi menandakan suatu postingan dianggap relevan oleh peneliti lain. Data SCImago tunjukkan sitasi Indonesia jauh di bawah Thailand, Singapura, dan Malaysia.

Data ini tunjukkan Indonesia perlu bekerja lebih keras untuk menghasilkan publikasi yang bakal dikutip akademisi lain. Indonesia tidak cuma perlu menerbitkan lebih banyak publikasi, tetapi termasuk membuatnya lebih relevan bagi peneliti lain.

Baca Juga: Monash University: Kolaborasi Riset atau Bunuh Kampus Lokal?

Peringkat universitas

Sitasi penting dikarenakan ia terkait dengan kinerja kampus dalam kalkulasi peringkat universitas. Ada banyak jenis peringkat kampus dunia. Tetapi yang dianggap paling bisa diandalkan dan menyeluruh adalah Times Higher Education. Peringkat Times mengonfirmasi posisi Indonesia dibandingkan Thailand, Singapura, dan Malaysia.

Peringkat Times memanfaatkan lima indikator: pengajaran, riset, sitasi, visi internasional, dan efek riset ke industri. Peringkat Times terbaru mencantumkan dua kampus di Singapura di 100 teratas, menjadikan Singapura sebagai yang paling baik dibanding tiga negara lain.

Tiga negara lain tidak mempunyai gates of olympus kampus di 100 teratas tetapi Malaysia mencatatkan sembilan kampus di semua daftarnya yang memuat lebih dari 1.000 institusi. Salah satu kampus Malaysia masuk di 400 teratas.

Thailand mencatat 10 kampus di daftar tersebut, salah satunya masuk 600 teratas.

Sementara, tiga dari kampus paling baik di Indonesia—Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia—masuk dalam 1.000 teratas dan Institut Pertanian Bogor ada di group 1.000+.

Tahun ini Times Higher Education’s Young University Rankings, yaitu daftar 200 kampus top dunia yang usianya di bawah 50, mencantumkan satu kampus di Singapura, enam di Malaysia, dan satu di Thailand. Tak ada satu pun dari Indonesia.

Peringkat Times Higher Education tunjukkan Indonesia perlu lebih dari sekadar mengalahkan kuantitas publikasi Malaysia atau Singapura di 2019 tetapi termasuk meningkatkan relevansi risetnya.

Abad kolaborasi demi ilmu pengetahuan

Pemerintah udah berupaya memberi insentif dalam wujud uang agar akademisi menerbitkan lebih banyak postingan akademis, tetapi akademisi Indonesia perlu bisa berupaya lebih jauh dari itu.

Riset menemukan dunia ilmu abad 21 adalah era untuk bekerja dengan peneliti lain dari tekun yang tidak serupa dan bahkan dengan pemangku kepentingan publik lainnya di luar dunia akademis. Pendekatan kolaboratif ini bisa menjadi model bagi Indonesia dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Kerja sama layaknya ini bisa memfasilitasi visi bersama dengan agar masalah-masalah kompleks bisa diatasi dengan lebih baik.

Riset lain tunjukkan tren sejak 1960an bahwa publikasi yang ditulis oleh tim peneliti lebih banyak jumlahnya, lebih sering dikutip, dan memberi efek ilmiah yang lebih besar dibandingkan publikasi yang dikerjakan oleh penulis tunggal.

Studi-studi ini—keduanya ditulis oleh tim—berargumen bahwa kerja sama tim tambah penting dalam memproses pengetahuan.

Kolaborasi, bukan kompetisi

Kemristekdikti perlu lebih fokus meningkatkan riset yang dikerjakan oleh tim dan mendorong kolaborasi antara peneliti Indonesia dan peneliti luar negeri, terutama dengan negara dan kampus dengan reputasi baik dalam hal publikasi ilmiah.

Data dari SCImago di bawah ini tunjukkan persentase publikasi Indonesia yang dikerjakan oleh tim penulis yang lebih dari satu negara konsisten menerus turun waktu persentase Singapura naik terus.

Selain ketentuan slot gacor gampang menang menteri berkenaan insentif bagi cendekiawan yang menulis artikel ilmiah, kementerian termasuk sebaiknya mengalokasikan hibah riset yang secara tertentu mendorong proyek kolaboratif.

Kolaborasi sebaiknya dikerjakan oleh peneliti Indonesia dan peneliti luar negeri untuk menghindari kecupetan dunia akademis.

Indonesia mungkin bisa mengawali kerja sama dengan tetangga sendiri. Akademisi Indonesia mungkin tidak perlu beradu dengan akademisi Thailand, Singapura, dan Malaysia. Yang perlu mereka jalankan adalah berkolaborasi dengan mereka.

Dari 4.600 kampus di Indonesia, Sedikit yang Berkualitas Baik

Dari 4.600 kampus di Indonesia, Sedikit yang Berkualitas Baik – Dari 4.600 kampus di Indonesia, hanya Sedikit yang Berkualitas Baik – Saat ini, terdapat lebih dari 4.600 perguruan tinggi di Indonesia. Angka tersebut terdiri dari 32% Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di bawah beraneka kementerian, serta 68% sisanya Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Di antara ribuan kampus tersebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kesenjangan mutu yang besar, terutama pada PTS.

Tapi, di antara PTN pun, kampus berbentuk Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTBH) yang punya otonomi keuangan yang kuat seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, jumlahnya cuma dua belas atau lebih kurang 0.8% dari keseluruhan kampus negeri.

Artinya, selagi ini ada banyak sekali kampus di Indonesia, tetapi mayoritas punya mutu pengelolaan yang buruk. Hanya segelintir dari ribuan kampus tersebut pada akhirnya bisa bersaing secara global.

Dalam World University Rangkings th. 2021, cuma satu kampus Indonesia yang masuk 200 besar.

Berkaca pada pengalaman saya sebagai dosen dan sempat terlibat dalam manajemen kampus selama empat tahun, saya dambakan mengatakan persoalan pengelolaan dari begitu banyaknya perguruan tinggi di Indonesia, serta cara yang bisa ditempuh untuk merampingkan ribuan kampus tersebut.

Banyak kampus tetapi pengelolaannya timpang

Salah satu ciri utama manajemen kampus yang baik adalah punya otonomi untuk mengelola keuangan sendiri, serta kebebasan bereksperimen dengan praktik-praktik pendidikan tinggi yang inovatif.

Karakter “swasta” dari PTS sesungguhnya sudah memberikan ruang untuk melakukan inovasi.

Sayangnya, beberapa besar lebih dari 3.000 PTS, kekuatan finansial dan kualitasnya rendah. Data penggolongan mutu Pendidikan Tinggi 2020 menyatakan tidak ada satu pun PTS masuk ke Klaster 1 (terbaik). Hanya beberapa masuk ke Klaster 2, sisanya tersebar di antara Klaster 3 sampai 5.

Sementara untuk PTN, jenis manajemen yang memberikan otonomi pengelolaan keuangan seperti PTBH – atau yang satu tingkat di bawahnya yakni Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTBLU) – sesungguhnya terbukti bisa perlahan membenahi kampus negeri di Indonesia.

Pola manajemen instansi yang di awalnya administratif dan kaku, selagi ini lebih bebas dan inovatif dalam pengembangan program.

Kampus menjadi fleksibel dalam manajemen anggaran untuk inovasi pendidikan tinggi, apabila perekrutan dosen asing atau penerapan proses penggajian internal yang lebih berbasis kinerja.

Sayangnya, lagi-lagi cuma sedikit PTN yang punya format pengelolaan PTBH (sekitar 0,8%) dan PTBLU (sekitar 7%) dari keseluruhan PTN di bawah beraneka kementerian.

Pemerintah selama ini sering memastikan pentingnya PTN untuk naik tingkat menjadi PTBLU, dan pada akhirnya PTBH. Untuk mencapainya, para kampus negeri wajib mencukupi beberapa syarat, di antaranya standar minimum akreditasi program studi, jumlah publikasi internasional, serta tingkat kelayakan finansial tertentu.

Tapi, buruknya mutu pengelolaan ribuan kampus yang ada membuat mereka ada masalah mewujudkan cita-cita ini.

Pengelolaan mayoritas kampus negeri selagi ini – yang punya tingkat terendah yakni Perguruan Tinggi Satuan Kerja (PT Saker) – tetap terlampau kental mengadopsi administrasi pemerintahan. Ciri yang paling umum adalah pengelolaan sumber daya dengan kinerja yang berbasis penyerapan anggaran.

Model ini tidak tepat diterapkan di instansi pendidikan tinggi gara-gara tidak dapat bisa memberikan independensi dan keleluasan dalam pengembangan program kampus.

Hentikan pembentukan kampus baru, gabungkan yang sudah ada

Untuk itu, Indonesia memerlukan cara yang lebih revolusioner – bagi kampus negeri maupun swasta.

Ketimbang memaksa mendorong kampus untuk naik kelas, pemerintah lebih baik fokus merampingkan ribuan kampus yang ada.

Pertama, moratorium atau pemberhentian selagi perguruan tinggi baru wajib berkelanjutan dilakukan.

Saat ini, lebih dari 4.600 perguruan tinggi di Indonesia melayani keseluruhan penduduk 270 juta jiwa.

Angka ini mengalahkan jumlah perguruan tinggi di Cina yang cuma 2.824 di bandingkan jumlah penduduk mereka yang capai 1,4 miliar.

Dengan mutu ribuan kampus di Indonesia yang tetap buruk, ini menjadi terlampau mengkhawatirkan.

Kedua, realisasikan wacana penggabungan atau merger untuk merampingkan jumlah sekaligus meningkatkan mutu perguruan tinggi.

Wacana ini sesungguhnya sempat di gaungkan oleh pemerintah, terutama untuk PTS, walau prakteknya menghadapi tantangan seperti keengganan beraneka yayasan kampus swasta untuk join menjadi satu.

Namun, terkecuali program ini berhasil, dampaknya dapat mewujudkan PTS yang besar, sehat, dan berdaya saing. Ini lebih baik di bandingkan ribuan PTS kecil yang kualitasnya sukar di awasi pemerintah.

Bahkan menurut saya pemerintah pun sebaiknya mempertimbangkan melakukan merger pada PTN yang performanya buruk.

Merger tersebut tidak cuma untuk memudahan pengawasan, tetapi yang terpenting adalah transfer budaya organisasi dari kampus besar ke kampus yang lebih kecil.

Harapannya, dengan berinduk pada PTN yang lebih besar, PTN kecil yang berbentuk universitas, institut, politeknik, maupun sekolah tinggi dapat mengadopsi pola manajemen yang lebih profesional.

Pada akhirnya, dapat lebih banyak kampus yang bisa capai standing PTBH atau PTBLU dengan otonomi yang besar.

Baca Juga: Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia?

Manfaat lain dari perampingan kampus: berkaca dari Prancis

Saat ini, saya terhitung sedang menempuh studi doktoral di Prancis.

Ada beraneka hal menarik perihal pengelolaan kampus di negara ini, yang menurut saya bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia – terutama perihal perampingan kampus.

Sekitar 40 th. lalu, terjadi reformasi pendidikan tinggi di Prancis yang mengantarai instansi kampus berdasarkan disiplin ilmunya. Ini Sejalan dengan tren pendidikan tinggi dunia barat selagi itu yang berpusat pada kebutuhan industri yang terlampau spesifik.

Ini membuat perpecahan Universitas Paris, misalnya, menjadi 13 kampus yang berbeda. Di antaranya menjadi Universitas Pierre and Marie Curie (UPMC) yang fokus pada ilmu sains dan kasehatan, dan Paris-Sorbonne yang fokus pada seni dan humaniora.

Namun, Pemerintah Prancis kini justru melakukan merger beberapa kampus ternama di Prancis untuk menjawab tantangan global.

Universitas Paris-Sorbonne dan UPMC pun kembali dilebur menjadi satu. Yang lebih fenomenal kembali adalah berdirinya Universitas Paris-Sacley yang merupakan penggabungan dari 19 institusi pendidikan tinggi.

Beberapa pimpinan kampus tersebut mengatakan tantangan world seperti krisis iklim memerlukan kampus yang punya disiplin ilmu yang komprehensif dan lintas bidang.

Pada 2015, peneliti Jean-Claude Theonig mengatakan bagaimana pembentukan Universitas Paris-Sacley adalah upaya Prancis untuk bersaing dengan kampus ternama dunia seperti Harvard, MIT, dan Oxford.

Dalam hal ini, Paris-Sacley di rancang sebagai kampus raksasa yang multidisipliner, sekaligus klaster teknologi besar seperti Silicon Valley.

Perlu advokasi dan perubahan pola pikir

Jika kami dambakan mencoba menyita cara perampingan dan merger seperti di Prancis, sebaiknya upaya tersebut tidak di serahkan pada kesukarelaan tiap kampus, mengingat Indonesia punya peristiwa panjang perihal ego-sektoral antar instansi maupun kementerian.

Misalnya, pemerintah bisa menyediakan tim tertentu untuk menjembatani advokasi kebijakan ini.

Yang jelas, ada persoalan besar dalam pengelolaan yang timbul dari adanya ribuan politeknik, institut, dan sekolah tinggi memiliki kwalitas tidak baik yang berdiri secara terpisah.

Mungkin perpecahan ini sempat menjadi pilihan terbaik bagi pemerintah Indonesia di masanya. Namun, sudah saatnya kami mengevaluasi apakah cara tersebut sesuai dengan tuntutan world selagi ini.

Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia?

Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia? – Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia? – Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menunjukkan bahwa memperluas akses pendidikan bisa membantu merampungkan beragam persoalan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Tapi terkecuali pendidikan seseorang tidak seirama dengan pekerjaannya, apakah pendidikan selanjutnya akan efektif dalam menciptakan efek sosial?

Pada awal November lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menunjukkan cuma tersedia maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya. Survei lain terhitung menunjukkan bahwa cuma 13% mahasiswa jadi mengambil alih program belajar yang tepat.

Statistik ini apalagi lebih rendah dari yang disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017 lalu, yang menunjukkan cuma 37% angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya.

Jika hal ini tidak dibenahi secara sistematis dan serius, negara ini dalam jangka panjang berpotensi tetap hadapi ketidakcocokan bidang keahlian pekerja, atau yang disebut “job-education mismatch.”

Penelitian th. 2019 dari Vietnam menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak seirama dapat semakin menyusahkan masyarakat di negara berkembang untuk naik kelas secara ekonomi.

Pasalnya, ketidakcocokan ini bisa membuat mereka mendapat penghasilan yang lebih rendah dari pekerja lain.

Riset terbaru di Indonesia mengatakan bahwa potensi perbedaan penghasilan ini bisa meraih lebih dari 5%. Bahkan, belajar di Bosnia-Herzegovina mengatakan angkanya meraih 13%-15%.

Apa yang membuat fenomena ini, dan apa yang bisa dilaksanakan ke depannya?

Kampus sebagai pit-stop

Sebagai seseorang yang udah mengenyam tiga level pendidikan tinggi, aku berpendapat bahwa kampus, khususnya, dapat dianalogikan sebagai sebuah pit-stop seperti pada olahraga balapan. Pelajar melaksanakan persiapan terakhir sebelum akan mereka merintis iklim dunia kerja sehabis lulus.

Artinya, para calon mahasiswa tidak cuma harus perhitungkan program belajar yang inginkan diambil, tetapi terhitung apa yang hendak mereka jadikan aspirasi karir sehabis lulus dari program belajar tersebut.

Banyak orang yang mengalami job-education mismatch justru tidak perhitungkan perkembangan pasar ketenagakerjaan atau menggali panggilan jiwa mereka sebelum akan menentukan program studi. Studi mengatakan mereka biasanya baru mengerti ini dikala akan atau udah lulus.

Dengan kata lain, we put the cart before the horse (memikirkan kereta kuda sementara belum memiliki kuda).

Masalahnya, proses pendidikan kami sebetulnya tidak secara sengaja memberi area bagi para peserta didik untuk mengembangkan wawasan ini sedini mungkin.

Program magang yang memiliki tujuan memberi kesempatan bagi pelajar untuk mengenal lapangan pekerjaan, misalnya, baru berjalan sehabis mereka kuliah (kecuali bagi pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)).

Sementara di level Sekolah Menengah Atas (SMA), para calon mahasiswa repot mengayalkan beragam ujian yang harus mereka lalui sebelum akan mereka bisa menapakkan kakinya di jenjang pendidikan tinggi. Pada akhirnya, mereka minim mengayalkan aspirasi karir sementara masuk perguruan tinggi.

Proses seleksi masuk perguruan tinggi (SNMPTN, SBMPTN, dan UM) pun tidak banyak memberi tambahan evaluasi mengenai seberapa seirama program belajar yang dipilih dengan minat dan bakat calon mahasiswa. Masih tersedia banyak universitas yang lebih memprioritaskan jumlah mahasiswa yang berhasil direkrut ketimbang aspek-aspek ini.

Selain itu, beberapa universitas di Indonesia mendorong agar mahasiswa menentukan penjurusan bidang sedini mungkin.

Beberapa program belajar apalagi udah terlalu tertentu sejak semester awal. Di Universitas Bina Nusantara (BINUS), misalnya, tersedia program belajar Mobile Application & Technology yang tentu jauh lebih tertentu dibandingkan program belajar Teknologi Informatika.

Hal selanjutnya dapat mengurangi fleksibilitas mahasiswa terkecuali ternyata mendapatkan bahwa mereka berada di program belajar yang tidak cukup tepat.

Di negara lain seperti Amerika Serikat (AS), kesempatan bagi mahasiswa untuk berganti program belajar – atau biasanya disebut pergantian major (bidang belajar utama) – di sedang proses perkuliahan condong lebih terbuka.

National Center for Education Statistics di AS menunjukkan bahwa setidaknya 80% peserta didik di negara selanjutnya dulu merubah pilihan program studinya.

Baca Juga: 7 Prioritas Pendidikan di Indonesia Pasca Pandemi

Minim fasilitas konseling karir di sekolah

Sebenarnya, salah satu resep yang bisa menahan terjadinya salah jurusan adalah adanya fasilitas bimbingan dan konseling (BK) yang baik di sekolah.

Selain sebagai pusat pendampingan aspek kesejahteraan siswa, fasilitas ini terhitung berguna membantu mereka menentukan aktivitas ekstrakurikuler, program belajar sementara kuliah, dan memantapkan penguasaan karir yang sesuai minat, bakat, ciri kepribadian lainnya.

Namun, lihat statistik job-education mismatch yang begitu timpang, fasilitas ini sepertinya tidak berjalan dengan maksimal di proses pendidikan Indonesia.

Berbagai sumber mengatakan bahwa Indonesia sementara ini tidak cuma kekurangan tenaga BK, tetapi kompetensi maupun pemberian sumber daya mereka terhitung belum ideal untuk membantu kesejahteraan siswa – terhitung aspirasi karir dan kesegaran mental.

Jika kemudian keperluan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak sekolah, maka peserta didik yang memerlukan fasilitas ini harus mencari informasi di luar sekolah: para psikolog profesional, konsultan pendidikan, sarana sosial, atau kadang waktu staf dari universitas.

Beberapa sekolah terhitung dengan terbuka menimbulkan pihak-pihak selanjutnya untuk singgah dan memberi informasi mengenai kuliah dan karir bagi para siswa.

Sayangnya, tidak semua peserta didik pun mengerti atau dijelaskan mengenai pentingnya fasilitas tersebut.

Banyak murid lebih banyak mendengar masukan yang berpotensi subjektif seperti pandangan keluarga, saudara, atau kawan sebayanya. Mereka bisa terhitung cuma fokus pada berlebihan kampus, lokasi, biaya perkuliahan, atau informasi lainnya seperti prospek gaji pekerjaan tertentu yang di atas rata-rata.

Informasi di atas tentu membantu pengambilan keputusan. Tapi, para siswa acap kali tidak menyelaraskannya dengan minat, kemampuan, dan kepribadian mereka, agar berkontribusi pada pemilihan bidang belajar yang tidak cukup tepat.

Langkah ke depan

Membenahi persoalan ini perlu kerja mirip dari beragam pihak terhitung pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi terhitung organisasi nirlaba maupun pemerhati pendidikan.

Institusi pendidikan harus jadi menanamkan ilmu dan wawasan mengenai iklim pasar ketenagakerjaan sedini mungkin. Sekolah terhitung bisa memberi kesempatan bagi murid untuk ‘mencicipi’ aspirasi karir tertentu sebelum akan mereka dihadapkan dengan keputusan menentukan jurusan kuliah.

Program magang atau pengambilan mata kuliah lintas bidang yang lazim berjalan di pendidikan tinggi, misalnya, dapat dibuat lebih simple dan dimasukkan dalam kurikulum pada jenjang SMA untuk membantu murid mengetahui bervariasi bidang belajar maupun karir yang ada.

Organisasi nirlaba atau filantropi, dan juga beragam proyek kolaborasi riset pemerintah dan non-pemerintah yang kerap memberi program intervensi di lingkungan pendidikan, terhitung harus jadi perhitungkan pentingnya fasilitas konseling karir yang berkualitas di sekolah.

Saat ini, pemerintah Indonesia terhitung sedang merancang kurikulum baru yang memberi area gerak bagi sekolah untuk melaksanakan beragam inovasi pembelajaran di sekolah.

Ini merupakan sebuah momen yang pas bagi perubahan.

Jangan hingga usaha reformasi pendidikan di Indonesia berujung tidak optimal gara-gara tidak cukup dapat menggali potensi peserta didik dan membuat job-education mismatch.

7 Prioritas Pendidikan di Indonesia Pasca Pandemi

7 Prioritas Pendidikan di Indonesia Pasca Pandemi – COVID-19 telah merubah langkah kami bekerja dan studi secara radikal. Hal ini menambahkan peluang bagi institusi untuk membayangkan lagi jaman depan pendidikan tinggi.

Proyek Contextualising Horizon kami dengan Australasian Society of Computers in Learning in Tertiary Education (ASCILITE) mengungkapkan beberapa tren kuat di Asia Pasifik, terhitung Indonesia, untuk mendukung mempersiapkan dan merencanakan apa yang menunggu sektor pendidikan tinggi di jaman depan.

7 Prioritas Pendidikan di Indonesia Pasca Pandemi

Bahkan sebelum akan pandemi, tekanan politik dan keuangan telah memotivasi institusi untuk mencari style alternatif pembelajaran, seperti kursus sertifikasi singkat dari universitas terakreditasi (kredensial mikro), untuk memperluas akses pada pendidikan dan menghasilkan pendapatan.

Pandemi terhitung memaksa universitas untuk menangani masalah lama seputar kesehatan mental dan kesenjangan aksesibilitas digital, yang makin meluas selama pandemi ini.

Tren-tren ini membuktikan adanya pergeseran dalam sektor pendidikan dan, sebagai konsekuensinya, nampak pemahaman bahwa sehingga pendidikan tinggi selamanya relevan, institusi mesti meninjau lagi model-model pembelajaran dan desain pengalaman universitas.

Sehubungan dengan perubahan ini, proyek kami mengidentifikasi tujuh prioritas teknologi dan praktik untuk pendidikan tinggi di kawasan Asia Pasifik.

1. Mendefinisikan lagi praktik pedagogi

Panelis mempertanyakan praktik lama, terhitung ujian dan perkuliahan, dan juga relevansinya dalam konteks pendidikan modern.

Pendekatan yang berpusat pada siswa, dibandingkan pendekatan yang berpusat pada guru, misalnya, dengan cepat jadi sebuah norma. Proyek Transforming Exams yang berbasis di Australia, contohnya, memiliki tujuan untuk menambahkan pengalaman autentik, memberdayakan pelajar dengan memakai alat elektronik terkomputerisasi spesifik tekun ilmu selama ujian berbasis kampus.

Salah satu studi membuktikan bahwa pendekatan pembelajaran aktif dan penilaian autentik menghasilkan pembelajaran siswa yang lebih menarik lingkungan, meningkatkan kelayakan kerja dan meningkatkan pembelajaran siswa.

Untuk mengakomodasi perihal ini, mungkin besar peran area universitas akan berkembang. Pelajar dapat memakai peluang untuk berkumpul di universitas dan tatap muka – tetapi terhitung memakai teknologi sosial untuk amat mungkin mereka studi lewat jaringan, dan berbagi dan juga berkolaborasi, lewat komunitas online.

Lembaga-lembaga di Indonesia dan negara-negara Asia Pasifik lainnya terhitung mesti pertimbangkan cara-cara untuk membangun kemampuan dan kepercayaan diri dalam praktik-praktik ini dan mengadopsi kebijakan dan pedoman seputar penggunaannya untuk mendukung meyakinkan penerapannya secara luas.

2. Perawatan diri dan kesejahteraan untuk staf dan siswa

Sepanjang pandemi ini, baik pelajar maupun staf institusi sering mengalami lockdown, isolasi sosial, dan beragam efek ekonomi, yang dapat berkontribusi pada stres mental maupun emosional.

Kami menyoroti persoalan seputar beban kerja dan kelelahan staf. Sebaliknya, siswa melaporkan mengalami isolasi selama pembelajaran jarak jauh. Hal ini penting untuk jaman depan sebab kami mesti meyakinkan beban kerja lagi ke tingkat sebelum akan pandemi, terutama bagi staf.

3. Model pembelajaran campuran

Pembelajaran campuran terdiri dari beragam pilihan penyampaian, terhitung pembelajaran hybrid atau dual learning yang menggabungkan pendekatan online dan offline.

Cara-cara baru dalam menambahkan peluang pembelajaran, terhitung streaming langsung dan fasilitasi online yang merupakan kombinasi kegiatan real-time, dengan sementara yang fleksibel dan mandiri, telah nampak sebagai kompetensi penting bagi guru.

Di semua dunia, telah berlangsung diskusi tentang langkah meningkatkan pengalaman siswa dengan pembelajaran campuran. Di Indonesia, perguruan tinggi konsisten coba style berikut dengan beragam cara.

Produksi bersama ilmu dan pengalaman adalah tujuan sebuah proyek di Toba, Sumatera Utara, Indonesia di mana e-learning adaptif mempertemukan mahasiswa dan dosen sebagai bagian dari tim desain untuk meningkatkan kinerja pembelajaran dan pemasaran di semua institusi.

Baca Juga: Mengenal Sistem Pembelajaran di Bangku Perkuliahan

4. Infrastruktur teknologi pendidikan

Seiring dengan makin banyaknya institusi yang memakai teknologi digital, infrastruktur teknologi pendidikan telah jadi ekosistem peralatan, konektivitas, dan aplikasi yang kompleks untuk mendukung pengajaran, administrasi, dan penelitian di universitas.

Mendukung ekosistem ini perlu investasi dari universitas, tidak cuma dalam perihal peralatan dan jaringan tetapi terhitung meyakinkan keamanan dan pemberian untuk memakai layanan.

Selain itu, mendukung staf dan pelajar dalam menavigasi ekosistem perlu pertimbangan yang cermat dalam desain mereka dan anggapan ke depan tentang bagaimana mempertahankan ekosistem ini di jaman depan.

Gedung Universitas Teknologi Sydney Central di Australia adalah contoh pendekatan ini.

Fasilitas ini, dirancang dengan pembelajaran sebagai intinya, menampilkan area pembelajaran berkapasitas tinggi yang amat mungkin kolaborasi dan kemampuan audiovisual untuk mendukung interaksi pelajar dan fasilitasi guru dalam beragam format campuran.

5. Konten yang dapat dibuka dan kesetaraan digital

Tujuan ke-4 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah meyakinkan pendidikan berkwalitas yang inklusif dan adil untuk semua.

Institusi dapat berkontribusi pada tujuan ini lewat penerapan prinsip Desain Universal untuk Pembelajaran yang meyakinkan konten dapat di buka oleh semua orang, terhitung penyandang disabilitas, penduduk adat, dan mereka yang berada dalam ada masalah keuangan.

Aspek penting lainnya adalah kesetaraan digital, yang di definisikan oleh International Society for Technology in Education (ISTE) sebagai “memastikan siswa punya akses yang serupa pada teknologi, seperti perangkat, perangkat lunak, dan internet, dan bahwa mereka telah melatih para pendidik untuk mendukung siswa memakai alat-alat tersebut.”

Namun, Indonesia sementara ini punya kecepatan internet yang lambat di bandingkan negara lain secara global. Bahkan, pada tahun 2022, hampir 50% orang dewasa dari 275 juta penduduk, tidak punya akses pada internet.

Mengatasi tantangan konektivitas semacam ini mesti jadi pertimbangan penting bagi pemerintah dan instansi di Indonesia.

6. Desain bersama pendidikan tinggi

Dalam praktiknya, desain bersama mengumpulkan industri, staf pengajar dan pelajar untuk mendesain lagi kegiatan pembelajaran atau total kursus.

Metode dan filosofi desain bersama berpotensi amat mungkin sektor ini untuk bersama-sama menciptakan struktur, jalur, dan pemberian kelembagaan yang menangani tantangan dan laksanakan transformasi pada instansi dengan langkah yang lebih mewakili keperluan organisasi, staf, dan peserta didik.

Salah satu inisiatif berikut adalah Tahun Desain Bersama di Universitas Fulbright Vietnam, yang melibatkan mahasiswa dalam pengembangan beragam faktor lingkungan dan pengalaman universitas.

7. Kredensial mikro

Kredensial mikro dapat termasuk kursus tanpa kredit, kursus singkat dan pembelajaran profesional dan juga pendidikan industri.

Universitas RMIT Australia, contohnya, telah mengembangkan dan mengkurasi lebih dari 150 kursus singkat dan kredensial siap kerja, terhitung sejumlah kredensial yang di kembangkan lewat kemitraan dengan industri.

Meskipun terkandung kekurangan dalam kebijakan dan infrastruktur baik di tingkat nasional maupun kelembagaan, peningkatan keragaman penawaran kredensial mikro oleh penyedia lokal dan internasional dapat mendukung Indonesia mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi yakni dengan mencukupi peningkatan permohonan pelatihan kejuruan dan peluang studi di perguruan tinggi luar negeri.

Bentuk ‘Ageism’ di Pendidikan Tinggi dan Cara Mengatasinya

Bentuk ‘Ageism’ di Pendidikan Tinggi dan Cara Mengatasinya – Pada tahun 2050, sejumlah besar negara di dunia dapat miliki populasi lansia menggapai lebih dari 30% dari keseluruhan populasi mereka. Artinya, kuantitas keseluruhan orang berusia di atas 60 tahun dapat melebihi dua miliar di seluruh dunia.

Menurut profesor dari University of New South Wales (UNSW), Australia, Michael Krasovitsky, salah satu hal yang memperburuk fenomena ini adalah ageism. Ageism merujuk pada sikap negatif dan diskriminasi terhadap individu karena usia mereka.

Dalam konteks pendidikan tinggi, ageism nampak dalam beraneka bentuk, pada lain:

1. Ageism dalam kesempatan belajar lanjut

Ageism halangi kesempatan bagi individu berusia tua untuk menempuh pendidikan tinggi. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, kebanyakan universitas miliki mahasiswa Ph.D berusia pada 25 dan 35 tahun. Mungkin ada yang lebih muda atau lebih tua, tapi hanya sedikit kuantitas mahasiswa yang berusia 40 atau 50-an.

Akibatnya, banyak universitas yang tidak cukup mempertimbangkan keperluan mahasiswa berusia tua tersebut. Misalnya, Ph.D di universitas berbasis riset di AS biasanya perlu komitmen “full-time”, selama 5 tahun atau lebih, bekerja sebagai asisten pengajar atau peneliti dengan gaji pokok.

Sementara itu, mayoritas orang berusia 40-an dan 50-an tidak dapat bertahan dan berkomitmen untuk menghabiskan 5 tahun atau lebih secara penuh selagi untuk mengerjakan gelar Ph.D

Meskipun usia bukan hanya satu segi penentu dalam penyelesaian program doktoral, penelitian Robin Wollast, peneliti dari Psychological Research Institute, Belgia, menyatakan bahwa mahasiswa Ph.D berusia 20-26 tahun yang tetap berada di awal karir penelitiannya menikmati tingkat penyelesaian yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa berusia 27-75 tahun.

Itulah sebabnya mengapa mahasiswa berusia tua condong menentukan program Ph.D paruh waktu, yang kerap ditawarkan oleh universitas non-riset, dengan konsekuensi membayar sendiri tanpa layanan beasiswa.

Keresahan yang serupa terhitung diceritakan oleh Ahmar Mahbook, dosen dari University of Sydney, Australia, berkenaan kenalannya yang inginkan menempuh Ph.D.

Meskipun mencukupi syarat untuk meraih beasiswa Ph.D di bidang linguistik terapan dan miliki pengalaman profesional yang relevan, dia di beritahu bahwa negaranya tidak memberi tambahan beasiswa kepada mereka yang berusia di atas 35 tahun. Alasannya karena ia di akui miliki sumber daya spesial sehingga tidak perlu mengandalkan beasiswa pemerintah.

Batasan usia sesungguhnya kerap di terapkan dalam syarat-syarat beasiswa pemerintah. Umumnya, batas usia pendaftar bagi jenjang magister maksimal 35 tahun dan doktoral maksimal 40 tahun.

2. Ageism dalam jabatan di perguruan tinggi

Ageism sebabkan seseorang kerap menerima stereotip atau prasangka yang di dasarkan pada karakteristik tertentu. Beberapa stereotip yang di miliki oleh orang tua adalah ‘3D’ yaitu Dependent (ketergantungan), Depressed (depresi), Demented (pikun). Artinya, orang tua di akui identik dengan lebih bergantung, rentan depresi dan pikun, sehingga condong tidak produktif.

Menurut Margarita Gutiérrez, profesor dari Universitas Katolik Valencia, Spanyol, stereotip ini menciptakan persepsi yang tidak pas terhadap kebolehan dan kontribusi mahasiswa yang berusia tua. Selain itu, Jelle Lössbroek, peneliti pascadoktoral Sosiologi dari Universitas Utrecht, Belanda memastikan bahwa stereotip terhitung menciptakan diskriminasi berbasis usia dalam sistem perekrutan dan seleksi.

Stereotip bahwa staf berusia tua condong tidak efisien sebabkan universitas bisa dengan sengaja tidak meloloskan kandidat yang lebih tua yang miliki kredensial dan evaluasi baik, sehingga bisa menerima kandidat yang lebih muda meski tidak cukup memiliki pengalaman dengan gaji yang lebih murah.

Padahal, sebuah artikel dari American Psychological Association, organisasi psikolog ilmiah dan profesional terbesar di AS, menyebutkan bahwa bersamaan bertambahnya usia, manusia condong jadi lebih ramah dan berhati-hati. Orang dewasa yang lebih tua terhitung condong lebih baik dalam sesuaikan emosinya. Sehingga bisa mengelola jabatan dengan lebih profesional.

Baca Juga: Cara Menentukan Judul Skripsi Jurusan Teknik Mesin

3. Ageism pada akademikus perempuan

Perempuan yang lebih tua mengalami susah untuk di pekerjakan, dan kerap kali di tekan untuk pensiun lebih awal, sedang perempuan yang lebih muda di akui tidak memiliki pengalaman dan di abaikan kontribusinya.

Namun, Anne Litwin, leadership coach dan fasilitator di Harvard T.H. Chan School of Public Health, AS, membantah pendapat ini dan menyebutkan bahwa perempuan berusia lebih tua justru mempunyai beraneka pengalaman dan kontak berharga ke organisasi.

Di dunia akademik, perempuan sesungguhnya perlu berjuang melawan paduan seksisme, yaitu prasangka dan analisis bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain, dan usia untuk mempertahankan legitimasi keilmuan dan spesialisasi mereka.

Apa dampaknya?

Ageism di bidang pendidikan tinggi dapat mengakibatkan berbagai dampak bagi mahasiswa dan staf pengajar. Stereotip dan bias usia dapat mengarah pada praktek diskriminatif, kesempatan yang terbatas, dan perlakuan yang tidak setara berdasarkan usia.

Salah satu konsekuensi dari ageism dalam pendidikan tinggi adalah kurangnya pemanfaatan ilmu dan pengalaman yang dibawa oleh individu yang lebih tua ke dalam komunitas akademik.

Dosen dan tenaga pendidik yang lebih tua hadapi tantangan dalam menambah jabatan, promosi, dan pendanaan penelitian sebab analisis negatif perihal kapabilitas dan kontribusi mereka. Lambat laun, mereka pun mempercayai stereotip negatif perihal mereka, supaya memicu menurunnya motivasi dan prestasi.

Hal ini dapat menghambat kolaborasi, transfer pengetahuan, dan pengembangan komunitas akademik yang bervariasi dan inklusif.