Dari 4.600 kampus di Indonesia, Sedikit yang Berkualitas Baik – Dari 4.600 kampus di Indonesia, hanya Sedikit yang Berkualitas Baik – Saat ini, terdapat lebih dari 4.600 perguruan tinggi di Indonesia. Angka tersebut terdiri dari 32% Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di bawah beraneka kementerian, serta 68% sisanya Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Di antara ribuan kampus tersebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kesenjangan mutu yang besar, terutama pada PTS.

Tapi, di antara PTN pun, kampus berbentuk Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTBH) yang punya otonomi keuangan yang kuat seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, jumlahnya cuma dua belas atau lebih kurang 0.8% dari keseluruhan kampus negeri.

Artinya, selagi ini ada banyak sekali kampus di Indonesia, tetapi mayoritas punya mutu pengelolaan yang buruk. Hanya segelintir dari ribuan kampus tersebut pada akhirnya bisa bersaing secara global.

Dalam World University Rangkings th. 2021, cuma satu kampus Indonesia yang masuk 200 besar.

Berkaca pada pengalaman saya sebagai dosen dan sempat terlibat dalam manajemen kampus selama empat tahun, saya dambakan mengatakan persoalan pengelolaan dari begitu banyaknya perguruan tinggi di Indonesia, serta cara yang bisa ditempuh untuk merampingkan ribuan kampus tersebut.

Banyak kampus tetapi pengelolaannya timpang

Salah satu ciri utama manajemen kampus yang baik adalah punya otonomi untuk mengelola keuangan sendiri, serta kebebasan bereksperimen dengan praktik-praktik pendidikan tinggi yang inovatif.

Karakter “swasta” dari PTS sesungguhnya sudah memberikan ruang untuk melakukan inovasi.

Sayangnya, beberapa besar lebih dari 3.000 PTS, kekuatan finansial dan kualitasnya rendah. Data penggolongan mutu Pendidikan Tinggi 2020 menyatakan tidak ada satu pun PTS masuk ke Klaster 1 (terbaik). Hanya beberapa masuk ke Klaster 2, sisanya tersebar di antara Klaster 3 sampai 5.

Sementara untuk PTN, jenis manajemen yang memberikan otonomi pengelolaan keuangan seperti PTBH – atau yang satu tingkat di bawahnya yakni Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTBLU) – sesungguhnya terbukti bisa perlahan membenahi kampus negeri di Indonesia.

Pola manajemen instansi yang di awalnya administratif dan kaku, selagi ini lebih bebas dan inovatif dalam pengembangan program.

Kampus menjadi fleksibel dalam manajemen anggaran untuk inovasi pendidikan tinggi, apabila perekrutan dosen asing atau penerapan proses penggajian internal yang lebih berbasis kinerja.

Sayangnya, lagi-lagi cuma sedikit PTN yang punya format pengelolaan PTBH (sekitar 0,8%) dan PTBLU (sekitar 7%) dari keseluruhan PTN di bawah beraneka kementerian.

Pemerintah selama ini sering memastikan pentingnya PTN untuk naik tingkat menjadi PTBLU, dan pada akhirnya PTBH. Untuk mencapainya, para kampus negeri wajib mencukupi beberapa syarat, di antaranya standar minimum akreditasi program studi, jumlah publikasi internasional, serta tingkat kelayakan finansial tertentu.

Tapi, buruknya mutu pengelolaan ribuan kampus yang ada membuat mereka ada masalah mewujudkan cita-cita ini.

Pengelolaan mayoritas kampus negeri selagi ini – yang punya tingkat terendah yakni Perguruan Tinggi Satuan Kerja (PT Saker) – tetap terlampau kental mengadopsi administrasi pemerintahan. Ciri yang paling umum adalah pengelolaan sumber daya dengan kinerja yang berbasis penyerapan anggaran.

Model ini tidak tepat diterapkan di instansi pendidikan tinggi gara-gara tidak dapat bisa memberikan independensi dan keleluasan dalam pengembangan program kampus.

Hentikan pembentukan kampus baru, gabungkan yang sudah ada

Untuk itu, Indonesia memerlukan cara yang lebih revolusioner – bagi kampus negeri maupun swasta.

Ketimbang memaksa mendorong kampus untuk naik kelas, pemerintah lebih baik fokus merampingkan ribuan kampus yang ada.

Pertama, moratorium atau pemberhentian selagi perguruan tinggi baru wajib berkelanjutan dilakukan.

Saat ini, lebih dari 4.600 perguruan tinggi di Indonesia melayani keseluruhan penduduk 270 juta jiwa.

Angka ini mengalahkan jumlah perguruan tinggi di Cina yang cuma 2.824 di bandingkan jumlah penduduk mereka yang capai 1,4 miliar.

Dengan mutu ribuan kampus di Indonesia yang tetap buruk, ini menjadi terlampau mengkhawatirkan.

Kedua, realisasikan wacana penggabungan atau merger untuk merampingkan jumlah sekaligus meningkatkan mutu perguruan tinggi.

Wacana ini sesungguhnya sempat di gaungkan oleh pemerintah, terutama untuk PTS, walau prakteknya menghadapi tantangan seperti keengganan beraneka yayasan kampus swasta untuk join menjadi satu.

Namun, terkecuali program ini berhasil, dampaknya dapat mewujudkan PTS yang besar, sehat, dan berdaya saing. Ini lebih baik di bandingkan ribuan PTS kecil yang kualitasnya sukar di awasi pemerintah.

Bahkan menurut saya pemerintah pun sebaiknya mempertimbangkan melakukan merger pada PTN yang performanya buruk.

Merger tersebut tidak cuma untuk memudahan pengawasan, tetapi yang terpenting adalah transfer budaya organisasi dari kampus besar ke kampus yang lebih kecil.

Harapannya, dengan berinduk pada PTN yang lebih besar, PTN kecil yang berbentuk universitas, institut, politeknik, maupun sekolah tinggi dapat mengadopsi pola manajemen yang lebih profesional.

Pada akhirnya, dapat lebih banyak kampus yang bisa capai standing PTBH atau PTBLU dengan otonomi yang besar.

Baca Juga: Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia?

Manfaat lain dari perampingan kampus: berkaca dari Prancis

Saat ini, saya terhitung sedang menempuh studi doktoral di Prancis.

Ada beraneka hal menarik perihal pengelolaan kampus di negara ini, yang menurut saya bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia – terutama perihal perampingan kampus.

Sekitar 40 th. lalu, terjadi reformasi pendidikan tinggi di Prancis yang mengantarai instansi kampus berdasarkan disiplin ilmunya. Ini Sejalan dengan tren pendidikan tinggi dunia barat selagi itu yang berpusat pada kebutuhan industri yang terlampau spesifik.

Ini membuat perpecahan Universitas Paris, misalnya, menjadi 13 kampus yang berbeda. Di antaranya menjadi Universitas Pierre and Marie Curie (UPMC) yang fokus pada ilmu sains dan kasehatan, dan Paris-Sorbonne yang fokus pada seni dan humaniora.

Namun, Pemerintah Prancis kini justru melakukan merger beberapa kampus ternama di Prancis untuk menjawab tantangan global.

Universitas Paris-Sorbonne dan UPMC pun kembali dilebur menjadi satu. Yang lebih fenomenal kembali adalah berdirinya Universitas Paris-Sacley yang merupakan penggabungan dari 19 institusi pendidikan tinggi.

Beberapa pimpinan kampus tersebut mengatakan tantangan world seperti krisis iklim memerlukan kampus yang punya disiplin ilmu yang komprehensif dan lintas bidang.

Pada 2015, peneliti Jean-Claude Theonig mengatakan bagaimana pembentukan Universitas Paris-Sacley adalah upaya Prancis untuk bersaing dengan kampus ternama dunia seperti Harvard, MIT, dan Oxford.

Dalam hal ini, Paris-Sacley di rancang sebagai kampus raksasa yang multidisipliner, sekaligus klaster teknologi besar seperti Silicon Valley.

Perlu advokasi dan perubahan pola pikir

Jika kami dambakan mencoba menyita cara perampingan dan merger seperti di Prancis, sebaiknya upaya tersebut tidak di serahkan pada kesukarelaan tiap kampus, mengingat Indonesia punya peristiwa panjang perihal ego-sektoral antar instansi maupun kementerian.

Misalnya, pemerintah bisa menyediakan tim tertentu untuk menjembatani advokasi kebijakan ini.

Yang jelas, ada persoalan besar dalam pengelolaan yang timbul dari adanya ribuan politeknik, institut, dan sekolah tinggi memiliki kwalitas tidak baik yang berdiri secara terpisah.

Mungkin perpecahan ini sempat menjadi pilihan terbaik bagi pemerintah Indonesia di masanya. Namun, sudah saatnya kami mengevaluasi apakah cara tersebut sesuai dengan tuntutan world selagi ini.