Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia? – Apa yang Harus Diperbaiki di Sistem Pendidikan Indonesia? – Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menunjukkan bahwa memperluas akses pendidikan bisa membantu merampungkan beragam persoalan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Tapi terkecuali pendidikan seseorang tidak seirama dengan pekerjaannya, apakah pendidikan selanjutnya akan efektif dalam menciptakan efek sosial?

Pada awal November lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menunjukkan cuma tersedia maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya. Survei lain terhitung menunjukkan bahwa cuma 13% mahasiswa jadi mengambil alih program belajar yang tepat.

Statistik ini apalagi lebih rendah dari yang disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017 lalu, yang menunjukkan cuma 37% angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya.

Jika hal ini tidak dibenahi secara sistematis dan serius, negara ini dalam jangka panjang berpotensi tetap hadapi ketidakcocokan bidang keahlian pekerja, atau yang disebut “job-education mismatch.”

Penelitian th. 2019 dari Vietnam menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak seirama dapat semakin menyusahkan masyarakat di negara berkembang untuk naik kelas secara ekonomi.

Pasalnya, ketidakcocokan ini bisa membuat mereka mendapat penghasilan yang lebih rendah dari pekerja lain.

Riset terbaru di Indonesia mengatakan bahwa potensi perbedaan penghasilan ini bisa meraih lebih dari 5%. Bahkan, belajar di Bosnia-Herzegovina mengatakan angkanya meraih 13%-15%.

Apa yang membuat fenomena ini, dan apa yang bisa dilaksanakan ke depannya?

Kampus sebagai pit-stop

Sebagai seseorang yang udah mengenyam tiga level pendidikan tinggi, aku berpendapat bahwa kampus, khususnya, dapat dianalogikan sebagai sebuah pit-stop seperti pada olahraga balapan. Pelajar melaksanakan persiapan terakhir sebelum akan mereka merintis iklim dunia kerja sehabis lulus.

Artinya, para calon mahasiswa tidak cuma harus perhitungkan program belajar yang inginkan diambil, tetapi terhitung apa yang hendak mereka jadikan aspirasi karir sehabis lulus dari program belajar tersebut.

Banyak orang yang mengalami job-education mismatch justru tidak perhitungkan perkembangan pasar ketenagakerjaan atau menggali panggilan jiwa mereka sebelum akan menentukan program studi. Studi mengatakan mereka biasanya baru mengerti ini dikala akan atau udah lulus.

Dengan kata lain, we put the cart before the horse (memikirkan kereta kuda sementara belum memiliki kuda).

Masalahnya, proses pendidikan kami sebetulnya tidak secara sengaja memberi area bagi para peserta didik untuk mengembangkan wawasan ini sedini mungkin.

Program magang yang memiliki tujuan memberi kesempatan bagi pelajar untuk mengenal lapangan pekerjaan, misalnya, baru berjalan sehabis mereka kuliah (kecuali bagi pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)).

Sementara di level Sekolah Menengah Atas (SMA), para calon mahasiswa repot mengayalkan beragam ujian yang harus mereka lalui sebelum akan mereka bisa menapakkan kakinya di jenjang pendidikan tinggi. Pada akhirnya, mereka minim mengayalkan aspirasi karir sementara masuk perguruan tinggi.

Proses seleksi masuk perguruan tinggi (SNMPTN, SBMPTN, dan UM) pun tidak banyak memberi tambahan evaluasi mengenai seberapa seirama program belajar yang dipilih dengan minat dan bakat calon mahasiswa. Masih tersedia banyak universitas yang lebih memprioritaskan jumlah mahasiswa yang berhasil direkrut ketimbang aspek-aspek ini.

Selain itu, beberapa universitas di Indonesia mendorong agar mahasiswa menentukan penjurusan bidang sedini mungkin.

Beberapa program belajar apalagi udah terlalu tertentu sejak semester awal. Di Universitas Bina Nusantara (BINUS), misalnya, tersedia program belajar Mobile Application & Technology yang tentu jauh lebih tertentu dibandingkan program belajar Teknologi Informatika.

Hal selanjutnya dapat mengurangi fleksibilitas mahasiswa terkecuali ternyata mendapatkan bahwa mereka berada di program belajar yang tidak cukup tepat.

Di negara lain seperti Amerika Serikat (AS), kesempatan bagi mahasiswa untuk berganti program belajar – atau biasanya disebut pergantian major (bidang belajar utama) – di sedang proses perkuliahan condong lebih terbuka.

National Center for Education Statistics di AS menunjukkan bahwa setidaknya 80% peserta didik di negara selanjutnya dulu merubah pilihan program studinya.

Baca Juga: 7 Prioritas Pendidikan di Indonesia Pasca Pandemi

Minim fasilitas konseling karir di sekolah

Sebenarnya, salah satu resep yang bisa menahan terjadinya salah jurusan adalah adanya fasilitas bimbingan dan konseling (BK) yang baik di sekolah.

Selain sebagai pusat pendampingan aspek kesejahteraan siswa, fasilitas ini terhitung berguna membantu mereka menentukan aktivitas ekstrakurikuler, program belajar sementara kuliah, dan memantapkan penguasaan karir yang sesuai minat, bakat, ciri kepribadian lainnya.

Namun, lihat statistik job-education mismatch yang begitu timpang, fasilitas ini sepertinya tidak berjalan dengan maksimal di proses pendidikan Indonesia.

Berbagai sumber mengatakan bahwa Indonesia sementara ini tidak cuma kekurangan tenaga BK, tetapi kompetensi maupun pemberian sumber daya mereka terhitung belum ideal untuk membantu kesejahteraan siswa – terhitung aspirasi karir dan kesegaran mental.

Jika kemudian keperluan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak sekolah, maka peserta didik yang memerlukan fasilitas ini harus mencari informasi di luar sekolah: para psikolog profesional, konsultan pendidikan, sarana sosial, atau kadang waktu staf dari universitas.

Beberapa sekolah terhitung dengan terbuka menimbulkan pihak-pihak selanjutnya untuk singgah dan memberi informasi mengenai kuliah dan karir bagi para siswa.

Sayangnya, tidak semua peserta didik pun mengerti atau dijelaskan mengenai pentingnya fasilitas tersebut.

Banyak murid lebih banyak mendengar masukan yang berpotensi subjektif seperti pandangan keluarga, saudara, atau kawan sebayanya. Mereka bisa terhitung cuma fokus pada berlebihan kampus, lokasi, biaya perkuliahan, atau informasi lainnya seperti prospek gaji pekerjaan tertentu yang di atas rata-rata.

Informasi di atas tentu membantu pengambilan keputusan. Tapi, para siswa acap kali tidak menyelaraskannya dengan minat, kemampuan, dan kepribadian mereka, agar berkontribusi pada pemilihan bidang belajar yang tidak cukup tepat.

Langkah ke depan

Membenahi persoalan ini perlu kerja mirip dari beragam pihak terhitung pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi terhitung organisasi nirlaba maupun pemerhati pendidikan.

Institusi pendidikan harus jadi menanamkan ilmu dan wawasan mengenai iklim pasar ketenagakerjaan sedini mungkin. Sekolah terhitung bisa memberi kesempatan bagi murid untuk ‘mencicipi’ aspirasi karir tertentu sebelum akan mereka dihadapkan dengan keputusan menentukan jurusan kuliah.

Program magang atau pengambilan mata kuliah lintas bidang yang lazim berjalan di pendidikan tinggi, misalnya, dapat dibuat lebih simple dan dimasukkan dalam kurikulum pada jenjang SMA untuk membantu murid mengetahui bervariasi bidang belajar maupun karir yang ada.

Organisasi nirlaba atau filantropi, dan juga beragam proyek kolaborasi riset pemerintah dan non-pemerintah yang kerap memberi program intervensi di lingkungan pendidikan, terhitung harus jadi perhitungkan pentingnya fasilitas konseling karir yang berkualitas di sekolah.

Saat ini, pemerintah Indonesia terhitung sedang merancang kurikulum baru yang memberi area gerak bagi sekolah untuk melaksanakan beragam inovasi pembelajaran di sekolah.

Ini merupakan sebuah momen yang pas bagi perubahan.

Jangan hingga usaha reformasi pendidikan di Indonesia berujung tidak optimal gara-gara tidak cukup dapat menggali potensi peserta didik dan membuat job-education mismatch.