Bentuk ‘Ageism’ di Pendidikan Tinggi dan Cara Mengatasinya – Pada tahun 2050, sejumlah besar negara di dunia dapat miliki populasi lansia menggapai lebih dari 30% dari keseluruhan populasi mereka. Artinya, kuantitas keseluruhan orang berusia di atas 60 tahun dapat melebihi dua miliar di seluruh dunia.

Menurut profesor dari University of New South Wales (UNSW), Australia, Michael Krasovitsky, salah satu hal yang memperburuk fenomena ini adalah ageism. Ageism merujuk pada sikap negatif dan diskriminasi terhadap individu karena usia mereka.

Dalam konteks pendidikan tinggi, ageism nampak dalam beraneka bentuk, pada lain:

1. Ageism dalam kesempatan belajar lanjut

Ageism halangi kesempatan bagi individu berusia tua untuk menempuh pendidikan tinggi. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, kebanyakan universitas miliki mahasiswa Ph.D berusia pada 25 dan 35 tahun. Mungkin ada yang lebih muda atau lebih tua, tapi hanya sedikit kuantitas mahasiswa yang berusia 40 atau 50-an.

Akibatnya, banyak universitas yang tidak cukup mempertimbangkan keperluan mahasiswa berusia tua tersebut. Misalnya, Ph.D di universitas berbasis riset di AS biasanya perlu komitmen “full-time”, selama 5 tahun atau lebih, bekerja sebagai asisten pengajar atau peneliti dengan gaji pokok.

Sementara itu, mayoritas orang berusia 40-an dan 50-an tidak dapat bertahan dan berkomitmen untuk menghabiskan 5 tahun atau lebih secara penuh selagi untuk mengerjakan gelar Ph.D

Meskipun usia bukan hanya satu segi penentu dalam penyelesaian program doktoral, penelitian Robin Wollast, peneliti dari Psychological Research Institute, Belgia, menyatakan bahwa mahasiswa Ph.D berusia 20-26 tahun yang tetap berada di awal karir penelitiannya menikmati tingkat penyelesaian yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa berusia 27-75 tahun.

Itulah sebabnya mengapa mahasiswa berusia tua condong menentukan program Ph.D paruh waktu, yang kerap ditawarkan oleh universitas non-riset, dengan konsekuensi membayar sendiri tanpa layanan beasiswa.

Keresahan yang serupa terhitung diceritakan oleh Ahmar Mahbook, dosen dari University of Sydney, Australia, berkenaan kenalannya yang inginkan menempuh Ph.D.

Meskipun mencukupi syarat untuk meraih beasiswa Ph.D di bidang linguistik terapan dan miliki pengalaman profesional yang relevan, dia di beritahu bahwa negaranya tidak memberi tambahan beasiswa kepada mereka yang berusia di atas 35 tahun. Alasannya karena ia di akui miliki sumber daya spesial sehingga tidak perlu mengandalkan beasiswa pemerintah.

Batasan usia sesungguhnya kerap di terapkan dalam syarat-syarat beasiswa pemerintah. Umumnya, batas usia pendaftar bagi jenjang magister maksimal 35 tahun dan doktoral maksimal 40 tahun.

2. Ageism dalam jabatan di perguruan tinggi

Ageism sebabkan seseorang kerap menerima stereotip atau prasangka yang di dasarkan pada karakteristik tertentu. Beberapa stereotip yang di miliki oleh orang tua adalah ‘3D’ yaitu Dependent (ketergantungan), Depressed (depresi), Demented (pikun). Artinya, orang tua di akui identik dengan lebih bergantung, rentan depresi dan pikun, sehingga condong tidak produktif.

Menurut Margarita Gutiérrez, profesor dari Universitas Katolik Valencia, Spanyol, stereotip ini menciptakan persepsi yang tidak pas terhadap kebolehan dan kontribusi mahasiswa yang berusia tua. Selain itu, Jelle Lössbroek, peneliti pascadoktoral Sosiologi dari Universitas Utrecht, Belanda memastikan bahwa stereotip terhitung menciptakan diskriminasi berbasis usia dalam sistem perekrutan dan seleksi.

Stereotip bahwa staf berusia tua condong tidak efisien sebabkan universitas bisa dengan sengaja tidak meloloskan kandidat yang lebih tua yang miliki kredensial dan evaluasi baik, sehingga bisa menerima kandidat yang lebih muda meski tidak cukup memiliki pengalaman dengan gaji yang lebih murah.

Padahal, sebuah artikel dari American Psychological Association, organisasi psikolog ilmiah dan profesional terbesar di AS, menyebutkan bahwa bersamaan bertambahnya usia, manusia condong jadi lebih ramah dan berhati-hati. Orang dewasa yang lebih tua terhitung condong lebih baik dalam sesuaikan emosinya. Sehingga bisa mengelola jabatan dengan lebih profesional.

Baca Juga: Cara Menentukan Judul Skripsi Jurusan Teknik Mesin

3. Ageism pada akademikus perempuan

Perempuan yang lebih tua mengalami susah untuk di pekerjakan, dan kerap kali di tekan untuk pensiun lebih awal, sedang perempuan yang lebih muda di akui tidak memiliki pengalaman dan di abaikan kontribusinya.

Namun, Anne Litwin, leadership coach dan fasilitator di Harvard T.H. Chan School of Public Health, AS, membantah pendapat ini dan menyebutkan bahwa perempuan berusia lebih tua justru mempunyai beraneka pengalaman dan kontak berharga ke organisasi.

Di dunia akademik, perempuan sesungguhnya perlu berjuang melawan paduan seksisme, yaitu prasangka dan analisis bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain, dan usia untuk mempertahankan legitimasi keilmuan dan spesialisasi mereka.

Apa dampaknya?

Ageism di bidang pendidikan tinggi dapat mengakibatkan berbagai dampak bagi mahasiswa dan staf pengajar. Stereotip dan bias usia dapat mengarah pada praktek diskriminatif, kesempatan yang terbatas, dan perlakuan yang tidak setara berdasarkan usia.

Salah satu konsekuensi dari ageism dalam pendidikan tinggi adalah kurangnya pemanfaatan ilmu dan pengalaman yang dibawa oleh individu yang lebih tua ke dalam komunitas akademik.

Dosen dan tenaga pendidik yang lebih tua hadapi tantangan dalam menambah jabatan, promosi, dan pendanaan penelitian sebab analisis negatif perihal kapabilitas dan kontribusi mereka. Lambat laun, mereka pun mempercayai stereotip negatif perihal mereka, supaya memicu menurunnya motivasi dan prestasi.

Hal ini dapat menghambat kolaborasi, transfer pengetahuan, dan pengembangan komunitas akademik yang bervariasi dan inklusif.